Beranda Bandung Asli Kue Keranjang

Kue Keranjang

1330
0
Siang itu aku lihat di rak supermarket yang kukunjungi berjajar rapih kue-kue khas imlek dengan hiasan warna menyolok, merah. Ketika kulihat kue keranjang dengan bungkus beragam ingatanku melayang jauh ke masa kecilku dulu. Aku dilahirkan dan dibesarkan di kota Bandung di pertokoan yang ramai tepatnya di jl. Ahmad Yani Cibeunying Wetan.
Di seberang rumahku ada Balai Besar Keramik sekaligus Sekolah Tinggi Keramik satu-satunya sekolah tinggi keramik di Indonesia. Sepanjang pertokoan yang berjajar dari perempatan jalan Supratman sampai Pasar Tradisional Jembar, sepertinya hanya kami yang pribumi. Mamah dan Papap (sebutan untuk kedua orang tuaku) membuka toko meubel yang menjadi toko meubel/furniture pribumi satu-satunya selain toko Jepara yang terkenal sampai sekarang.
Rumahku hanya 20 m dari Sungai Cibeunying. Sungai yang selalu menyebabkan rumahku rutin langganan banjir bandang setiap tahun. Toko-toko di sekitar rumahku bukanlah toko besar tetapi perputaran ekonomi di daerah tersebut terbilang sangat cepat dan ramai. Aku masih ingat toko sebelah sungai cibeunying ada Toko Besi Sumber, kemudian disebelahnya toko kelontong Legok, toko kelontong Ci Ming Kaw, sebelahnya masih toko kelontong Koh Jebleh (sampai sekarang aku tidak tau namanya aslinya) — julukan Jebleh muncul begitu saja besumber dari bibi bibiku karena katanya Koh bibirnya Jebleh (maaf) — kemudian toko kami, Toko Ros.
Sebelah kiri Toko Tjia, Toko Koh Atjin, Toko Neng Engkeh. Aku lupa toko mereka berjualan apa tapi yang aku ingat, teman mainku adalah anaknya Koh Atjin yang menjual mainan anak-anak dan perlengkapan rumah tangga.
Jangan dibayangkan toko mainan seperti sekarang yg penuh dengan mainan plastik, yang aku masih ingat mereka menjual mainan tradisional seperti monopoli, halma, ular tangga dan peralatan runah tangga sederhana.
Kemudian sebelahnya ada Koh Gonggong, begitu kami menyebutnya, tokonya menjual burung dan hewan peliharaan sekaligus pakannya. Koh Gonggong menjadi satu-satunya penguasa pangsa pasar “perburungan” di daerah Cibeunying sampai Cicadas.
Dengan kondisi seperti itu, otomatis aku sangat dekat dengan keseharian mereka. Hidupku sampai remaja dikelilingi, bergaul dan berinteraksi dengan etnis Tionghoa. Aku juga bergaul dan bermain bersama mereka, mungkin karena aku paling sering disuruh-suruh mamahku kalau berbelanja ke toko mereka, misalnya membeli sembako seperti gula putih, minyak, beras dll.
Tak jarang aku masuk ke rumah mereka, paling sering aku main ke rumah Ci Ming Kaw, beliau putri tertua dari tiga bersaudara keluarga Kaw, bapaknya telah meninggal dunia lama, adik laki-lakinya semua bersekolah tinggi, tetapi Ming Kaw berkorban selepas SMP berdagang ditemani mamanya di toko dan yang aku ketahui belum menikah saat aku tinggalkan rumahku di tahun 1996.
Anaknya Koh Jebleh juga terjadang bermain bersama kakakku namanya Tingting, anak perempuan tercantik di sepanjang pertokoan Cibeunying, setelah SMA Tingting tidak pernah terlihat lagi, katanya sih dia melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aku lebih sering bermain dengan anaknya Koh Atjin, dua anak perempuan hampir seumurku (aku lupa namanya), rambutnya dipotong model bob.
Dengan mereka aku dan adikku yang laki-laki main monopoli, yang menarik monopoli yang digunakan adalah jualan mereka. Supaya tidak rusak karton kertas monopoli mereka selipkan di meja berkaca sehingga karton tetap bersih dan sehabis bermain bisa dibungkus kembali hahaha, begitupun saat main halma atau ular tangga. Aku salut dengan keluarga mereka yang terus makan bubur setiap hari kalo keuntungan toko belum mereka dapatkan.
Toko Koh Gonggong juga sering aku kunjungi, toko burung dan hewan peliharaan lain itu sangat ramai dan selalu penuh dikunjungi oleh pembeli dari pagi buta. Aku suka memperhatikan burung-burung yang suaranya indah, atau hewan lain dalam sangkar, terkadang menawarkan burung, monyet, dan binantang langka seperti burung hantu dan musang!. Aku dan adikku suka berlama- lama jongkok di depan tokonya dan beliau hanya senyum-senyum saja, dengan jalan terpincang-pincang karena kakinya panjang sebelah, Koh Gonggong piawai menjual burung-burungnya. aku dulu sampai hapal makanan burung yg dia jual, mulai dari cacing sampai jangkrik.
Dimana penduduk pribumi? Tetanggaku penduduk pribumi tinggal di gang-gang belakang toko mereka, gang kecil tapi padat penduduk, mulai dari jalan Cikaso — yang terkenal dgn jalan besi karena di sanalah pusat penjualan besi rongsok dan preman (kata papapku), besi-besi rongsok tersebut katanya banyak yang bersumber dari hasil curian — sampai Gang Wiranta, dan Gang Tekstil namanya.
Di mulut gang-gang tersebutlah penduduk pribumi berjualan, di sebelah toko kami di mulut gang kecil yang memisahkan toko kami dengan toko Koh Jebleh, mang Tata berjualan buku bekas, aku suka berlama-lama duduk disitu untuk membaca buku-buku bekas yang menarik.
Koleksi komik Tintinku dulu semua dari mang Tata yang aku beli hanya Rp 25, tempat itu tempat favoritku dulu. Aku tahan duduk di di bawah berjam-jam hanya untuk membaca sebelum dipanggil pulang mamahku. Ada mang Ojo yang berjualan mie kocok yang sekarang sudah generasi ke-4, tukang awug yang sampai sekarang masih berjaya sudah dikenal se-Bandung Timur, ibu-ibu penjual bunga rampe, dan penjual kupat tahu yang menurutku paling enak sedunia hahaha..gimana tidak enak, kupatnya dia buat sendiri dengan daun tapi sebesar bantal, lembut dan tidak menggunakan pengawet, tahunya panas-panas dicomot langsung dari wajan saat digoreng.
Kembali ke kue keranjang, terus terang kue ini sangat memorable bagiku. Aku masih ingat dalam waktu tertentu rumahku kebanjiran kue keranjang, tadinya aku tidak mengerti kue apa itu, kenapa banyak sekali di meja makan? tetapi seiring waktu akhirnya aku tahu mereka sedang merayakan tahun baru Imlek. Mereka membagikan kue keranjang tersebut karena mereka merayakan sincia atau Tahun Baru Imlek. Waktu itu hari raya imlek tidak semeriah sekarang karena perayaannya masih dilarang pemerintah, sehingga tetangga-tetanggaku yang beretnis Tionghoa hanya menutup tokonya dan merayakan di rumah masing-masing tanpa banyak hiasan-hiasan seperti sekarang. Aku sendiri sangat menikmati tahun baru imlek karena itu berarti aku bisa makan kue keranjang yang manis dan enak itu.
Kebaikan mereka selalu kami balas pada saat bulan ramadhan, hamper setiap minggu mereka kami kirimkan satu paket makanan lengkap dengan menggunakan baki, aku masih ingat karena waktu itu akulah yang mengantarkan kepada mereka. Baki itu berisi nasi dan lauk pauk lengkap dan kerupuk, kemudian mereka akan membalas dengan mengisi bakiku dengan kue-kue ala kadarnya, yang jelas akulah yg beruntung karena terkadang aku mendapat bonus permen karet bulat warna warni atau permen coklat kesukaanku langung diambil dari toples jualan di toko mereka.
Jadi sampai sekarang aku menyukai kue kerankang yang manis itu, walau tidak merayakan imlek, aku selalu ingin membeli kue keranjang walau hanya satu sambil mengenang masa kecilku yang manis semanis pertemanku dulu dengan anak-anak perempuan Koh Atjin dan Ci Ming Kaw.
Saat itu tak ada ucapan selamat yang Papapku (ayah) ucapkan saat tahun baru imlek, begitupun saat idul fitri, tapi hubungan muamalah kami sangat harmonis, tak ada gontok-gontokkan. Mereka menerima, dan kami pun saling mengerti. Tindakan bertetangga yang baik lebih penting dibandingkan hanya sekedar ucapan selamat. Walaupun sekarang kami tidak lagi bertetangga, hubungan manis dulu biarlah menjadi kenangan manis kami semanis kue keranjang yang selalu mereka beri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.