Beranda Bandung Asli Jurus Dewa Mabuk Membentur Tembok

Jurus Dewa Mabuk Membentur Tembok

1255
0

Jurus Dewa Mabuk Membentur Tembok

Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun… Al Fatihah untuk Pak Kiai

Hasyim Muzadi… Saat beliau masih menjadi Ketua Umum PB NU, saya cukup dekat dengan beliau, dalam arti hubungan sebagai narasumber dengan wartawan. Karena cukup dekat, maka beliau tak pernah menolak saat diwawancarai, ketika saya datang ke ruang kerjanya di PB NU maupun saat berada di rumah dinas sementara beliau di pinggiran Kompleks Bank Indonesia di Terusan Kuningan. Bahkan, beberapa kali saya mewawancarai Kiai Hasyim, saat beliau sedang kecapean sehingga melayani wawancara sambil tiduran, dipijat atau malah sedang dikeroki.

Meski sama-sama pernah menjadi Ketua Umum PB NU, gaya Kiai Hasyim berbeda dengan gaya Gus Dur, ataupun Kiai Said Aqil Siraj. Semua punya kekhasan dalam berpikir, bertindak, dan melangkah. Ada beberapa tulisan yang pernah saya buat tentang langkah-langkah Kiai Hasyim dalam bidang agama, sebagai Ketua Umum PB NU, sebagai Kiai, maupun dalam bidang politik. Namun, sebagai kenang-kenangan, saya ingin menyajikan tulisan saya bersama sahabat saya Niniel Wda, Jobpie Sugiharto, dan Adi Mawardi dalam hal politik.

Berikut ini episode saat Gus Dur kepingin maju lagi menjadi Calon Presiden, sementara Kiai Hasyim dan juga kaum Nahdliyin menjadi rebutan partai-partai politik. Saat itu menjelang Pemilu 2004. Saya masih menjadi redaktur Nasional di majalah Tempo. Kebetulan saya yang mewawancarai dua kubu NU, baik Gus Dur maupun Pak Hasyim, juga Gus Syaifullah “Ipul” Yusuf, Pak Mahfud MD, dan Azwar Anas.

Mungkin tulisan ini bisa memperluas pandangan para sahabat tentang Almarhum… silakan…

====

Jurus Dewa Mabuk Membentur Tembok

Manuver Abdurrahman Wahid menuju kursi kepresidenan terganjal Mahkamah Agung. Meski tak didukung Wahid, Hasyim Muzadi jadi rebutan PDI Perjuangan dan Golongan Karya. Upaya Golkar pun mentok.

Pertemuan petinggi 17 partai politik di rumah Ketua Partai Bintang Reformasi Ade Daud Nasution Jumat siang lalu berubah menjadi tak nyaman begitu mantan presiden Abdurrahman Wahid tiba. Sapa basa-basi Ketua Umum Partai Merdeka Adi Sasono hanya ditanggapinya dengan dengusan. Padahal sudah dua jam mereka menunggu kedatangan Wahid dengan sabar.

Tak seperti biasanya wajah Wahid tampak keruh, suaranya bergetar, bahasa tubuhnya pun tampak kaku. Sambil duduk di sofa putih di ruang tamu rumah megah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu ia beberapa kali mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai. Seperti seorang pendekar yang terkena pukulan telak di titik kelemahannya, Wahid tampak gusar, sesekali mendengus dengan mimik menahan emosi.

Rupanya Wahid telah mendengar bahwa Mahkamah Agung menolak Judicial Refiew yang diajukannya bersama Partai Kebangkitan Bangsa mengenai surat keputusan KPU No. 26/2004 dan surat keputusan No. 31/2004. Kedua surat itu berisi syarat kesehatan rohani dan jasmani calon presiden dan wakil presiden serta petunjuk penilaiannya. “Penolakan ini bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi,” ujarnya.

Wahid mengaku masih menunggu keberanian Ketua MA Bagir Manan mencabut penolakan itu. Namun, jika Bagir tetap pada keputusannya, Ketua Dewan Syuro PKB ini memutuskan untuk mundur dari pencalonannya sebagai calon presiden dari PKB. Ia pun tidak akan mencalonkan maupun mendukung siapapun dalam pemilihan presiden nanti. “Dengan bahasa lain, di luar sistem,” ujarnya tegas.

Keputusan Wahid ini sungguh sangat mengejutkan. Sebab, selama sebulan terakhir pasca pemilu legislatif, partai-partai politik terus mendekatinya. Selain sangat diharapkan kesediaannya untuk menggalang koalisi bersama partai-partai itu, Wahid pun diminta menunjuk kader PKB maupun NU yang mewakili komunitas Nahdliyin jika ia tetap maju ke pemilu. Untuk urusan ini, lobby-lobby pun tak hanya dilakukan satu dua kali.

Padahal, PKB bukanlah juara dalam Pemilu kali ini. Mereka hanya menempati urutan ke tiga, dengan perolehan suara ‘hanya’ 11 persen. Tapi jangan salah, meski hanya di posisi ketiga, partai berlambang bumi dan sembilan bintang ini punya posisi menentukan dalam peta koalisi. Soalnya massa NU-PKB yang konon berjumlah 40 juta jiwa itu dinilai paling solid untuk menggalang dukungan.

Di sini, Wahid lah yang paling berpengaruh. Maka tak heran jika partai yang ingin menggandeng PKB-NU, bergiliran menyambangi Wahid agar mau menyumbangkan ‘isi gerbongnya’. Wahid pun oka-oke saja bertemu pemimpin-pemimpin partai, termasuk Sultan Hamengkubuwono X di Jogjakarta. “Saya sih baik ke semua orang,” ujarnya kepada LN Idhayanie dari TEMPO.

Tengoklah upaya Partai Golkar dalam mendekati Wahid, PKB serta NU. Golkar menilai koalisi dengan PKB-NU didukung Wahid sangat prospektif. Berbagai pendekatan dilakukan. Urusan bagi-bagi kursi telah dibicarakan. Menurut seorang petinggi PKB, mereka diiming-imingi 4 kursi penting di kabinet selain posisi Wakil Presiden dan Ketua DPR, jika PKB hooh berkoalisi dengan Golkar.

Kandidat presiden dari Partai Demokrat SB Yudhoyono juga berharap PKB mau memperkuat koalisi kaki tiganya bersama Jusuf Kalla. Bahkan, kata Mahfud, bagi-bagi kursi dengan Yudhoyono lebih jelas. PKB bakal diberi posisi di 7 kursi menteri. “Ini lebih konkrit,” ujarnya. Tapi, Wahid kurang sreg atas sikap Yudhoyono yang terlalu formal. Langkah SBY yang buru-buru memilih Jusuf Kalla sebagai sekondannya pun membuat Wahid kecewa karena tidak meminta izin dulu.

PDI Perjuangan juga berminat membawa gerbong PKB-NU untuk bergabung ke kandang Banteng. Tapi PDI Perjuangan lebih berminat menggaet KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, untuk didapuk menjadi sekondan Mega. Maklum, sampai kini Wahid masih dongkol kepada Mega gara-gara dilengserkan dari kursi kepresidenan 3 tahun yang lalu. “Jare Al Quran, orang itu tak akan keblowok (terperosok) ke lubang yang sama dua kali,” ujarnya sengit.

Dua pekan lalu, Mega bahkan mengutus Menteri Perindustrian Rini Suwandi untuk menjemput Rais Aam NU KH Sahal Mahfudz dari Pati. Dalam pertemuan di jalan rumah Mega di Teuku Umar itu, Mega meminta Kiai Sahal untuk mengizinkan Hasyim sebagai calon presiden dari PDIP. Tapi, dengan diplomatis Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Pati itu berkata, “Urusan politik bukan urusan NU tapi urusan Durrahman (Wahid).” Pertemuan itu mentah, apalagi PB NU memutuskan, siapa pun yang menjadi calon presiden atau wakil presiden, tak mewakili organisasi.

Partai Golkar telah melobi Hasyim untuk bergabung ke kerimbunan beringin pula. Repotnya Hasyim dinilai masih di bawah bayang-bayang Wahid, sehingga baik Golkar apalagi PDI Perjuangan ketar ketir jika Hasyim tak bisa menarik gerbong mayoritas NU. Mereka lalu mensyaratkan agar Hasyim bertemu Wahid sebelum resmi dipinang. Tapi, Wahid tetap tak mau merestuinya. “Orang pembohong gitu dipercaya,” ujarnya.

Seperti biasa, langkah zigzag Wahid tak mudah ditebak. Meski runtang-runtung, ia tak mau merestui siapapun. Belakangan ia malah kepingin jadi Presiden lagi. Keinginan ini didukung Pengurus PKB se-Indonesia. Walau terhalang KPU, niatnya tak terbendung. Upaya pengobatan dilakukan di Situ Gunung, Sukabumi sebelum Kamis lalu menjalani tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto. (Lihat : Berbekal Chi Kung dari Situ Gunung)

Rupanya PB NU punya agenda tersendiri. Sebagian Kiai berharap Wahid tak meneruskan upayanya menuju kursi kepresidenan. Mereka justru bersiap mengerek Hasyim menjadi calon presiden. Halaqoh Nasional Alim Ulama NU di Hotel Somerset, Surabaya, Selasa pekan lalu yang mengundang semua kandidat presiden menjelaskan semua persiapan itu.

Ketika Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur Ali Maschan Musa menanyakan dalam sidang, apakah hadirin sepakat mengizinkan Kiai Hasyim menjadi calon wakil presiden, seluruh peserta halaqoh nasional menyambut dengan koor setuju. Hasyim yang duduk disamping Ali tampak tersenyum. “Kalau ngambil keputusan nunggu Gus Dur terus, gak jadi keputusan akhirnya,” katanya.

Menurut Ali, bola di tangan Hasyim. Pada acara Halaqoh itu, Wiranto dan Mega sudah memberikan sinyal yang jelas. Mereka masing-masing sudah dipastikan melamar Hasyim sebagai calon wakil presiden. Kini keputusannya ada di tangan Hasyim. Para kiai yang hadir di halaqoh meminta Hasyim agar tidak tergantung kepada satu orang dua orang termasuk Wahid untuk mengambil sebuah keputusan.

Sehari sebelum Halaqoh Nasional digelar, dua kiai tim sukses Hasyim, KH Idris Marzuki dan KH Warsun Munawir bertemu Wiranto di Hotel Prambanan, Yogyakarta, Ahad malam (25/4). Dalam pertemuan seusai acara Ansor itu Kiai Idris meyakinkan Wiranto bahwa Hasyim siap mendampingi Wiranto menjadi wakil presiden.

Kepada dua kiai utusan Hasyim itu, Wiranto, meminta agar mereka dapat mengusahakan dukungan Wahid dan PKB. Jika tidak, suara NU dikhawatirkan bakal pecah. “Para ulama ingin keutuhan umat terutama NU dan PKB. Itu sangat diinginkan. Wiranto juga ingin seperti itu,” papar Kiai Idris yang didampingi KH Mas Subadar.

Hasyim pun berupaya mencairkan hubungannya dengan Wahid. Mereka bertemu di Cisaat Sukabumi. Dalam pertemuan empat mata itu Hasyim mengaku tak meminta restu Wahid sebagai calon wapres. Namun, yang muncul di luaran justru kabar bahwa Hasyim telah direstui Wahid. Akibatnya Wahid pun beraksi keras dan menganggap Hasyim berbohong. Sebaliknya Hasyim pun keras membantah. Hubungan mereka pun tetap beku.

ooOoo

Perkembangan berlangsung cepat pasca Halaqoh. Seusai istighosah di kantor PB NU Rabu lalu, Ketua DPP Golkar Slamet Effendy Yusuf datang menemui Hasyim. Kedua bekas aktivis GP Anshor itu sempat berbicara serius selama hampir satu jam. Saat jarum jam menunjuk 23.15 WIB, Slamet ikut ke rumah Hasyim di Kuningan. Sebab, Kamis pagi, Hasyim punya segepok agenda pertemuan di luar kota. Dari Jakarta, ia harus ke Pasuruan, Yogya, Rembang dan Pati.

Di rumah Hasyim, Priyo Budi Santosa, fungsionaris Golkar telah menunggu. Menjelang pukul 02.00 pagi, Priyo dan Slamet pulang. Tapi, sebuah jeep wrangler warna hijau tiba-tiba berhenti di depan rumah Hasyim. Seseorang lalu keluar dari mobil disambut Hasyim. Tak lama kemudian, Hasyim masuk mobil itu dan segera melesat di kegelapan malam entah ke mana. Namun, Wrangler hijau itu diketahui sebagai mobil Didi Suwandi, suami Menteri Perindustrian Rini Suwandi.

Kamis itu, agenda Hasyim begitu padat. Sejak dini hari ia menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Surabaya dengan pesawat Airbus Garuda. Ia pun langsung terbang ke Pasuruan dan Pati mengendarai helikopter BK-117. Di Pati Hasyim menemui Kiai Sahal dan bertemu empat mata. Dari Pati ia lalu terbang lagi ke Rembang untuk menemui Rais Syuriyah PB NU KH Musthafa Bisri. Setelah berbincang lebih dari satu jam, Hasyim pun pamit ke Semarang dan melanjutkan perjalanan dengan pesawat terbang ke Jakarta.

Yang menarik, menurut laporan Suara Pembaruan, saat bertamu di rumah Kiai Sahal, Hasyim memakai baju muslim warna hijau lumut dan sarung kotak-kotak. Namun, ketika berpamitan ia sudah berganti baju lengan pendek warna merah. Inikah suatu pertanda bahwa dirinya telah direstui Kiai Sahal untuk menjadi calon wakil presiden Mega?

Soalnya, Kamis malam harinya Hasyim bertemu Mega di rumah dinas Presiden, Jalan Teuku Umar. Pertemuan pukul 21.30 sampai sekitar 23.00 itu dihadiri Hasyim, Mega, Taufiq Kiemas, Pramono Anung, Soetardjo, dan Sabam. “Pak Hasyim sendirian,” ujar Wakil Sekjen PBNU Saiful Bahri Ansori kepada TEMPO Jumat lalu.

Ansori mengaku tak tahu detil isi pembicaraan. Tapi isinya soal pematangan koalisi Mega-Hasyim. Sebab Senin pekan ini bakal diumumkan kepastian kongsi mereka. “Bisa Pak Hasyim mengumumkan sendirian atau Ibu Mega sendiri, atau berdua,” katanya. Setelah mengumumkan, baru mereka melakukan tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto.

Bekas Ketua Umum PMII ini mengaku yakin masalah Mega, Hasyim, dan Wahid akan happy ending. Mega dan Wahid pun segera bertemu. Rencananya pertemuan digelar di rumah Jalan Sumatra Selasa Legi, 4 Mei, pukul 19.00 WIB. “Mediatornya Sri Sultan,” katanya. Selasa lalu, Soetardjo dan Sabam sudah sowan ke Kraton Yogyakarta. Dua banteng tua itu juga telah menemui Wahid untuk mempertemukannya dengan Mega.

Persetujuan para Kiai soal pasangan Mega-Hasyim ini pun menarik. Kamis lalu, dalam pertemuan 15 kiai sepuh NU di Krapyak, Yogyakarta sempat terjadi perdebatan sengit. Sebagian kiai sudah mendukung Hasyim-Wiranto, tapi sebagian menyarankan Hasyim-Mega. Tapi suasana berubah seusai Kiai Idris Marzuki menelepon Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. “Mereka menafsirkan Golkar kurang serius meminang Hasyim,” ujar sumber TEMPO di kalangan PBNU.

Mereka menilai, pengurus pusat Golkar kurang kompak dengan Wiranto. Jika Hasyim bergendengan dengan Wiranto, NU khawatir akan menanggung imbas ketidakcocokan ini. Kasus dugaan pelanggaran HAM yang menempel pada Wiranto dan ketidaksukaan internasional terhadap Wiranto juga menjadi pertimbangan. Mega memang terlalu diam, sementara suaminya banyak mengintervensi pemerintahan. Tapi, Mega dianggap bisa berkomunikasi dengan NU. Internal PDIP pun dinilai relatif solid.

Pendapat para kiai banyak dipengaruhi fatwa Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, yang tidak hadir. Menurut Kiai Sahal, kedua tokoh itu punya masalah tapi mesti dipilih siapa yang paling ringan dan bermanfaat bagi bangsa. Kalangan NU percaya pada kaidah ushul fiqih: menghindari keburukan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Memang ada pertimbangan fiqih tentang “larangan” pemimpin perempuan. Tapi perdebatan itu ditengahi dengan hasil Munas Alim Ulama NU di Lombok 1999. “Intinya, wanita bisa saja jadi pemimpin,” kata sumber itu.

Padahal dua hari sebelumnya, dukungan para kiai mengerucut kepada Wiranto. Kala itu dugaan pelanggaran HAM tak menjadi pertimbangan serius. Selain menganggap Wiranto lebih Islami, apalagi isterinya dari kalangan sayidah (keturunan nabi), pendekatan Wiranto pun lebih bagus. “Pendekatan Wiranto lebih menghormati kiai,” kata seorang pengurus PKB.

Wiranto resmi meminang Hasyim setelah Wiranto berbicara dalam forum Halaqoh. Di sebuah kamar di Hotel Sommerset, Surabaya, Hasyim dan tim NU bertemu Wiranto dan tim DPP Golkar. Saking pentingnya pertemuan di kamar nomor 1401 itu, Hasyim tak sempat mendampingi Yudhoyono saat berbicara di forum Halaqoh. Ia hanya menyambut SBY sebentar dan mengantarkan ke lokasi acara, lalu buru-buru meninggalkannya untuk melanjutkan pertemuan dengan Wiranto.

Pada Selasa siang, Golkar mengirim kurir untuk melobi kiai: Ketua Golkar Jawa Timur Ridwan Hisyam dan Ketua Golkar Pusat Irsyad Sudiro. Mereka menyatakan partainya sudah lama memilih Hasyim. Mereka pun menjanjikan peran NU di kabinet. Tapi sampai pertemuan Krapyak, tak ada kepastian soal jatah kursi kabinet. “Golkar lambat sekali tindaklanjutnya,” kata sumber TEMPO.

Hal ini berbeda dengan pembicaraan Mega dengan Hasyim dan 24 kiai Senin malam di lantai 2 Hotel Somerset. Pertemuan diawali dengan keinginan Mega “meminang” Hasyim. Kiai pun menanyakan konsesi untuk warga nahdliyin. Mega memastikan bahwa wakil presiden akan diberi kewenangan signifikan dan tak hanya jadi “ban serep”. Mega pun akan memberikan enam kursi untuk NU.

Seusai penutupan halaqah, Selasa malam menjelang dini hari, para Kiai kembali berkumpul membicarakan tawaran Mega dan Wiranto. Saat itu mayoritas kiai sepakat menerima Wiranto. KH Khatib Umar dari Jember dan KH Idris pro Wiranto. Alasannya, Wiranto mampu memunculkan rasa aman dan faktor gender yang melemahkan Mega. Tapi ternyata semua telah berubah dalam hitungan jam.

Itulah sebabnya, ketika Wiranto dan Akbar kembali menanyakan kepastian Hasyim Jumat lalu, Hasyim melemparkan bola kepada Kiai Sahal. Karena khawatir akan menyinggung perasaan tamunya, Hasyim meminta Golkar merembuk soal “pinangan” itu dengan Kiai Sahal. Meskipun demikian, tetap saja para petinggi beringin dan Wiranto keki mendengar jawaban Hasyim.

Dalam rapat harian pengurus Golkar yang dihadiri Wiranto, Jumat malam, diputuskan mereka tak akan menemui Kiai Sahal. Rapat “full team” itu berlangsung empat jam dengan pembahasan analisa dari berbagai informasi. Golkar menganggap lobi atas Hasyim sudah maksimal. “Pembicaraan itu urusan internal Pak Hasyim. Kami menunggu kabar Minggu pagi,” kata Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar. Jika jawaban cepat diperoleh, Golkar bisa leluasa meneruskan rencana.

Rully mengakui, semula partai Golkar cukup berbunga-bunga karena banyak kiai NU yang ingin agar Wiranto dengan Hasyim. Tapi rupanya kenyataan berbicara lain. Karena itu, berkaca dari kasus Hasyim, Golkar mengubah strategi dengan “menyimpan” Akbar dan Wiranto. Golkar tak mau dinilai “ngebet” lantaran meluncurkan dua “bos besar” sebagai ujung tombak lobi. “Ada tim yang melobi Gus Dur dan Pak Hasyim,” katanya.

Golkar pun belum buru-buru melaksanakan opsi ketiga: mencari calon wapres dari Golkar sendiri. Mereka terus berupaya mencari calon wapres yang bisa menambah dukungan. Artinya Golkar ingin mencari “kawan” dari partai atau ormas lain. Jika gagal merayu Hasyim, kata Rully, Golkar masih akan tetap mencoba mencari orang dari NU.

Jadi kartu Wahid masih bisa hidup lagi dong?

Hanibal W Y Wijayanta, Jobpie Sugiharto, Widiarsi Agustina, Adi Mawardi (Surabaya)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.