Andai Saya jadi Walikota Bandung*): (3)
OLEH IMAM WAHYUDI
USAI pelantikan, tentu saya segera berkantor di Balaikota, Jl. Wastukancana, Bandung dan menempati rumah tinggal resmi di pendopo Jl. Dalem Kaum — yang bertetangga dengan Alun-alun. Apa ga asyik, tuh… Belum lagi hak pengawalan, sistem protokoler, hingga ajudan dan assisten pribadi (aspri). Seirama itu, saya tak lagi rutin disapa IW — melainkan Pak Wali(kota) — satu jabatan prestisius sebagai penguasa Kota Bandung dengan sederet kewenangan, khususnya dalam menata ulang atau lebih kota tercinta ini.
Agenda awal adalah konsolidasi dengan para pejabat teras yang dipuncaki sekretaris daerah (sekda). Selain memperkenalkan diri dan menyampaikan harapan dlm membangun kota secara lebih maju — selebihnya sistem mesti tetap berjalan, tanpa harus dikomando lagi. Bahwa ada kebijakan baru, tentu tak harus menyeluruh dan sesegera.
***
Harapan baru dari walikota baru sudah dinanti warga. Maka penataan kawasan Cicadas yang dikenal sebagai “terpadat” sedunia, perlu segera dimulai — dengan memutar balik jarum jam lewat sentuhan Proyek Dewi Sartika tempo dulu — yg kadung terbengkalai alias tertunda. Saya layak melanjutkan proyek humanis itu. Sebutlah serupa Proyek MHT (Moh Husni Thamrin) di DKI Jakarta pd era Ali Sadikin.
Dengan kata lain, penataan Kota Bandung tidak boleh hanya sebatas permukaan saja — di jalan raya — tapi sudah saatnya mengarah ke kawasan permukiman padat penduduk dan nyaris kumuh. Warga kota berhak atas permukiman yang layak, tertata, bersih dan manusiawi. Tanpa itu, jabatan walikota tak lebih dr lambang kekuasaan semata.
***
Lantas bagaimana nasib Pasar Palasari yg meliputi pasar tradisi dan bursa buku, yang kian sesak dan berjejal. Kondisi “seadanya” ini sudah berlangsung lebih dari dua dasawarsa. Mau ditata? Atau mau diapakan?
Saya akan mencari penyebab atau kendala upaya penataan dan atau pengembangan yang mestinya sudah berlangsung. Jangan-jangan ada pemberian kuasa terhadap oknum pengembang, yang di awal sempat melangkah dan kemudian surut. Dalam hal seperti ini, penguasa tak boleh kalah oleh pengusaha (meski faktanya kerap terjadi -pen).
Berikutnya kawasan pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang ruas kawasan Cicadas yang bagai tak pernah tersentuh penataan ulang. Meski kita tahu, ada upaya menggeser ke pusat perbelanjaan di ujung Jl. Kiaracondong — toh faktanya tetap unjuk semrawut, tumpah ke badan jalan yang memicu kepadatan lalu-lintas kendaraan dalam kesehariannya, khususnya menjelang sore.
Saya pun akan mengembalikan penamaan Bandung Super Mall (BSM) dari aroma kekuasaan pengusaha atas kawasan perbelanjaan, hiburan dan rekreasi dengan sebutan Trans Studio Mall (TSM). Rasanya sebutan BSM lebih mengusung kawasan itu sebagai salah satu ‘icon’ Kota Bandung ketimbang TSM yang tidak ‘bunyi’..!! (bersambung)
*)#mimpi