Andai Saya jadi Walikota Bandung*): (4)
OLEH IMAM WAHYUDI
Generasi Muda, Wadah & Pembinaan
Pembinaan generasi itu perlu dan mendasar. Tak semata karena zaman berbeda yang ditandai perkembangan teknologi informasi (TI) kini. TI bak “buah simalakama”. Tak mungkin dihindari. TI yang marak dengan era media sosial (medsos), telah mendekatkan jarak antarkita — bahkan yang berjarak melintasi lautan dan benua — yang tak terbayangkan pada sebelum dekade ini.
Kekinian, juga kadung menjauhkan jarak. Kegiatan pembinaan, khususnya bagi generasi muda — butuh sentuhan dan kedekatan — yang pada kesempatan pertama, perlu sebuah wadah. Sebut saja, Gelanggang Remaja yang diawali langkah2 “perjuangan” Badan Koordinasi Taruna Karya (BKTK) Kota Bandung lewat figur-figur peduli dan melegenda, al. Nadi Sastrakusumah, Darmoko (alm), Bob Gunawan dan Tatto Sutamto.
Dalam perkembangannya, hadir pula Gelanggang Taruna di tingkat kecamatan atau wilayah sbg “breakdown” BKTK. Di antaranya di wilayah Karees dipimpin Hardi Maksud dan berlanjut ke Dedy Rachmat. Diawali di Kec. Cibeunying yang digagas Barnas, berikutnya di Kec. Sukajadi. Itu berkat dukungan Yayasan Konrat, dan berikutnya bantuan Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta kala itu. Jakarta adalah pelopor pembinaan remaja lewat wadah gelanggang remaja, yang selanjutnya ditularkan ke Kota Bandung.
Pembinaan remaja (baca: generasi muda) di Kota Bandung, hadir sebagai sebuah gagasan pada tahun 1971 yang ditandai dengan Panitia Persiapan Pembentukan Badan Kegiatan Pemuda yg diketuai Nadi Sastrakusumah dan sekretaris Taman Sastradikarna. Akhirnya atas ‘support’ Walikota Bandung, R. Otje Djoendjoenan — terbentuklah wadah kegiatan bernama BKTK melalui Musyawarah Pemuda (muspa) di Gedung Merdeka pada 20-22 Oktober 1971. Nadi terpilih jadi ketua (pertama). hingga digantikan Darmoko pada 1973 sampai muspa-II pada tahun itu juga yang menghasilkan Darmoko kembali sebagai ketua selama tiga tahun (1973-76). Muspa-III baru digelar 1978 yang memilih Bob Gunawan sebagai ketua. Tapi Bob harus bergeser tugas ke Cianjur, dan Nadi ditetapkan sabagai “caretaker” hingga muspa-IV tahu 1978 yang menghasilkan Tatto Sutamto (kini bergelar Doktor -pen).
Nama Tatto Sutamto identik dengan BKTK, karena praktis sejak itu atau hingga sekarang belum ada pergantian pengurus. Sebut saja sudah berlangsung 45 tahun. Entah mengapa? Yang pasti, secara ‘de facto’ dan ‘de jure’ — keberadaan BKTK antara ada dan tiada, nyatanya belum pernah “dibubarkan”.
***
Menelusuri sejarah BKTK hingga wadah Gelanggang Remaja (GR) atau “youth center” yang berubah nama Gelanggang Generasi Muda (GGM) selama setengah abad, tentu tak mudah bagi saya u/ mengingat dan menuliskan nama tokoh/aktivis secara rinci dan lengkap. Maaf, ya. Terlebih saya, setelah tahun 1972 terlibat ‘langkah awal’ bersama Darmoko dkk di Jl. Malabar — baru di era GGM unjuk hadir kembali. Berbekal aktivis pemuda, di antaranya ikut mendirikan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) bersama Toharisman dan Yana TH pada 1972 — lanjut dalam kapasitas jurnalis “Pikiran Rakyat” (sejak 1978) — saya tak mampu sembunyikan minat u/ kerap menjambangi GGM yang kala itu diketuai Eldie Suwandi (alm).
Di era Eldie pada 1980-an, saya ikut menggagas sayembara kreasi logo GGM yang menghasilkan “official logo” (hingga kini). Saya menyaksikan, GGM bukan sekadar wadah pembinaan semata denga kegiatan utama olahraga dan seni budaya — tapi lebih jauh sebagai “kawah candradimuka” bagi calon2 pemimpin pemuda. Kiprah GGM kala itu melibatkan nama-nama al. Dimyati Warsajaya, Ganjar Suwargani, Yanche dan Iman Fardiman. Dari GGM pula, Eldie meraih jabatan Sekretaris DPD KNPI Jabar lewat musda 1983 di Cirebon (ketua terpilh Maska Ridwan/alm) hingga aleg DPR RI (3 periode).
***
Bagai petir menyambar di siang hari. Sejarah dan eksistensi GGM bak hendak ditenggelamkan. Setahun lalu, bergulir kabar kompleks bangunan GGM di Jl. Merdeka 64 Bandung dirubuhkan. Bersamaan dengan itu akan dibangun hotel, dengan menyediakan empat lantainya sebagai pengganti fasilitas GGM. Konyol..!, kataku. Para aktivis remaja (baca: pemuda -pen) Kota Bandung, utamanya yang punya ‘benang merah’ dengan sejarah BKTK — bahkan lebih lantang berteriak: Tidak..!!
Benar, dalam tiga dasawarsa terakhir — posisi GGM praktis terjepit perkembangan kawasan komersial (bisnis) dengan magnet Bandung Indah Plaza (BIP). Tapi menggusur bangunan bersejarah bagi generasi muda itu, tentu tak bijak — meski berdalih investasi atau “moratorium” mendagri.
Selaku walikota andai, saya tak mungkin berdiam diri — apalagi mengutip manfaat ekonomi daripadanya. Saya lahir dari aktivis jalanan, termasuk Perjuangan Mahasiswa 1977/78 — segera melangkah u/ menganulir kebijakan yang tak waras itu.
Betul, lokasi GGM yang terhimpit — bisa jadu tak laik dipertahankan. Tapi dengan merubuhkan dan berganti busana, rasanya tak elok. Mengubur sejarah dan perannya dlm rentang waktu hampir satu generasi. Sebagai walikota baru, saya akan instruksikan mencari lahan cukup luas sebagai ‘pengganti’ bangunan GGM itu. Pastilah lebih modern, dengan fasilitas lengkap dan dukungan area parkir memadai. Gitu aja, koq repot…!! (bersambung).