Andai Saya jadi Walikota Bandung*): (7)
Lingkar Selatan tanpa Lingkar Utara…!!
SEBELUM melangkah menuju kursi penguasa Kota Bandung, sy dg senang hati lbh dulu menemui para kandidat (bakal) calon walikota yg belakangan marak adanya. Sy ingin sekali terlibat dlm diskusi cerdas seputar vidi dan misi mereka ketimbang menjajakan foto atau gambar dirinya di banyak sudut kota.
Salah satu materi diskusi, sy ingin ada kesepakatan tekad untuk menyampaikan kpd khalayak ttg Lingkar Selatan di Kota Bandung dg tanpa Lingkar Utara. Mungkin pula, ada kandidat yg masih ingin mewujudkan mimpi warganya akan kehadiran Lingkar Utara.
Seperti dimaklumi, bagi penduduk lama Kota Bandung — hampir dpt dipastikan mengenal ruas jalan melingkar yg dikenal Lingkar Selatan. Ya, krn lokasinya di belahan selatan kota — seblm berkembang spt skr ini. Konon digagas sejak seblm 1960 dan selanjutnya direalisasikan scr penuh mulai 1985, bersamaan dg berkembangnya kawasan permukiman Turangga di “tepi” selatan. Lingkar Selatan itu mulai dr titik simpang Jl. Ahmad Yani (baca: Jl. Raya Timur -pen)/Jl. RE Martadinata (Riau) di timur hingga Jl. Jamika/Jl. Sudirman (baca: Jl. Raya Barat -pen) di bagian barat. Kini, meliputi Jl. Laswi, Jl. Pelajar Pejuang ’45, Jl. BKR dan Jl. Peta.
Lingkar Selatan ini menjadi konsep pengembangan jalan perkotaan scr modern, dg keberadaan median jalan yg memungkinkan sistem “one way traffic” dibanding kebanyakan ruas jalan di Kota Bandung yg “two way traffic” (sejumlah di antaranya direkayasa jd “one way traffic”, krn kebutuhan dan perkembangan “load traffic” -pen). Coba tengok Jl. RE Martadinata (Riau) atau Jl. Ahmad Yani, yg lbh dulu ada — dibangun dg sistem “two way traffic” (tanpa median di tengah) — krn konsep awalnya sbg “kota peristirahatan” (bukan spt yg berkembang skr sbg kota metropolitan).
***
Jalan lingkar (melingkar), tentu jd solusi perkembangan dan atau kepadatan lalu-lintas berkendara di jalan2 utama dan pusat kota. Sebutlah “ring road” (jalan cincin) yg mengitari kota, yg dewasa ini populer adanya di banyak kota yg tengah berkembang cukup pesat.
Sayangnya, “ring road” itu dpt disebut gagal atau kadung gagal dikembangkan di Kota Bandung. Bahkan kian tak jelas model pengembangan jalan kota, kecuali mengoptimalkan yg sdh ada dg beberapa di antaranya model jalan layang (fly over).
Lingkar Selatan hrs rela “jomblo” berbilang tahun lamanya. Sdh separuh abad. Tak pernah ada tanda2 bakal disandingkan dg ‘pasangan’nya yg bernama Lingkar Utara.
Pada era Walikota Bandung, R. Otje Djoendjoenan (1971-1976) — sy pernah mendengar rencana pengembangan Lingkar Utara yg dimulai dr Bunderan Otje di ujung barat Jl. Sudirman — cukup dekat batas kota dg Cimahi. Tp entah mengapa rencana itu tak pernah terdengar lagi, alih2 bs direalisasikan.
Bisa dimaklumi, apalagi skr — rasanya semakin sulit melakukan pembebasan lahan di kawasan yg diinginkan sbg rencana lingkar utara itu. Pengaruh pengusaha atas penguasa, cenderung jd kendala. Ini kawasan pengembangan lingkar utara, kadung sarat dg permukiman — yg kian sulit dan selebihnya amat sangat “hi cost”.
Selanjutnya yg kita nantikan adalah pengembangan jalan tembus dr kawasan Dago utara ke Lembang, guna mengatasi kondisi “over load” di kawasan jl. Setiabudi (atas) hingga Ledeng. Issue pengembangan ini pun sdh bergulir sejak lbh 10 th silam, bahkan saat sy masih anggota DPRD Jabar (2004-2009). Entah apa kendalanya, tentu selain biaya tinggi — yg pasti berhenti bunyi. Toh, warga yg tahu ada ‘jalan tikus’ dr ujung Dago ke arah Lembang — masih jd pilihan. Meski tak nyaman, dan entah sampai kapan..?! (bersambung).
*)#mimpi