Berbagai versi mengenai sejarah asal mula saritem sebagai kawasan prostitusi.Nama Saritem memang tidak asing lagi bagi masyarakat terutama masyarakat Jawa Barat. Apalagi bagi pria yang punya hobi bertualang cinta. Bahkan karena informasi dari mulut ke mulut nama Saritem semakin dikenal di sebagian masyarakat yang ada di luar wilayah Jawa Barat.
Ada yang bilang kalau Saritem itu nama seorang tukang jamu berkulit hitam manis yang bernama Sari. Ada juga yang menyebutkan, nama Saritem diambil dari nama seorang penjaga warung remang-remang yang nongkrong di pinggir jalan.
Salah seorang warga masyarakat, Asep mengungkapkan bahwa saritem adalah nama seorang primadona pekerja seks komersial (PSK) tempo dulu, bernama Nyisari. Perempuan itu berkulit hitam manis, sehingga untuk mengabadikan namanya, jalan dari arah Gardujati diberi nama Jalan Saritem.
Memang, tak ada yang mengetahui secara pasti kapan Saritem berdiri. Namun, menurut catatan sejarah yang ditulis seorang peneliti barat, Saritem telah ada sejak dibangunnya jaringan rel kereta api sampai di Kota Bandung, awal 1800-an. Lokasinya yang berdekatan dengan stasiun kereta api yang kini dinamakan Stasiun Bandung itu menambah persyaratan bagi Saritem sebagai lokasi melting pot (tempat berbaurnya masyarakat yang berbeda latarbelakang dan asalnya).
Sekitar tahun 1940-an, rel kereta api merupakan batas antara kekuasaan Belanda dan pribumi. “Dari dulu kawasan Saritem memang sudah ada. Di sana tempat berkumpulnya orang-orang bangor dan hidung belang. Pada saat itu Kota Bandung telah menjadi tempat peristirahatan para pembesar Belanda. Mereka datang untuk menikmati panorama serta sejuknya udara Kota Kembang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah-rumah peristirahatan peninggalan Belanda di Kota Bandung.
Selama ratusan tahun Saritem dikenal sebagai tempat para pekerja seks komersial (PSK). Tidak diketahui secara pasti kapan lokasi ini dijadikan ajang bisnis seks. Berdasarkan literatur dan keterangan beberapa tokoh setempat lokasi ini telah berdiri sejak zaman Belanda. “Kalau kata orang tua-tua, Saritem sudah ada sejak tahun 1838,” kata Satria Ketua RW 07 Kelurahan Kebon Jeruk Kecamatan Andir Kota Bandung ketika ditemui Indonesia-Indonesia, dikediamannya belum lama ini.
“Dikisahkan nama lokalisasi Saritem erat kaitannya dengan nama gadis belia asal kota kembang Bandung bernama Saritem. Saritem memang berwajah cantik dan berkulit putih. Pesona Saritem ternyata memikat seorang pembesar Belanda kala itu. Kemudian Saritem dijadikan gundiknya. Sejak itulah gadis Saritem menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berganti menjadi Nyi Saritem.
Beberapa tahun kemudian Saritem disuruh Kompeni mencari wanita untuk dijadikan teman kencan serdadu Belanda yang masih lajang. Waktu itu daerah Gardu Jati dijadikan sebagai tangsi atau markas militer serdadu Belanda. Untuk kegiatan itu Saritem difasilitasi sebuah rumah yang lumayan besar.
Lambat laun perempuan-perempuan yang dikumpulkan Saritem bertambah banyak. Saritem mengumpulkan perempuan-perempuan dari berbagai daerah dari Bandung dan sekitarnya, seperti Cianjur, Sumedang, Garut, dan Indramayu. Sejak itu nama Saritem mulai kesohor. Yang datang ke rumah yang dikelolanya pun bertambah banyak.
Tidak hanya dari kalangan serdadu yang lajang. Serdadu yang lanjut usia pun juga berdatangan ke tempat Saritem. Bahkan beberapa warga pribumi ada juga yang datang. Antusiasme serdadu dan beberapa masyarakat pribumi terhadap tempat memadu kasih ala Saritem.
Hal ini membuat teman-teman Saritem yang juga menjadi gundik tentara Belanda tertarik membuka usaha serupa. Mereka rata-rata perempuan bekas binaan Saritem. Sejak perang kemerdekaan 1945 tangsi militer serdadu Belanda berhasil dikuasai pejuang Republik Indonesia. Namun, bisnis Saritem tidak tersentuh. Tim R