“Untuk menghindari penyebaran wabah covid 19, jalan ditutup sementara”
Itulah tulisan spanduk yang menutupi jalan yang biasa saya lewati menuju tempat saya bekerja. Suasana terasa mencekam sepi tak ada yang lewat satu mahlukpun ke wialyah yang dillarang tersebut, matahari terasa panas membakar siang itu, sayapun berbelok arah mundur untuk menuju jalan alternative menuju arah yang saya tuju.
Sampai di tempat saya bekerja tammpak kerumunan orang sedang melihat jalur jalan yang sudah di tutup. Mereka terlihat tegang dan penuh kekhawatiran, beberapa orang nampak sedang serius menggunakan HPnya, terlihat sesekali menelpon dengan wajah yang penuh keseriusan.
“Maaf Pak, ada yang kena covid?” saya bertanya pada salah seorang, yang sedang terlihat agak santai, tapi wajahnya walau tertutup masker tetap terlihat tegang dan penuh keseriusan.
Orang tersebut langsung menerangkan dengan penuh semangat. Dia menerangkan bahwa ada seorang yang baru tiga hari yang lalu datang dari Semarang kemudian merasa sakiit flu yang tidakk biasanya dan tadi malam di periksa di Apotik Kimia farma dan hasilnya dinyatakan positiif terinfeksi virus covid 19.
Dan tadi pagi aparat setempat dengan spontan menutup jalan yang melalui jalur rumah korban yang terkena covid. Korban sebagai penghuni kosan yang aslinya bukan penduduk daerah sini, korban datang tidak biasanya beserta istrina dari semarang, orang tersebut menerangkan dengan penuh antusias seperti tidak akan berhenti dan nampak ada emosi kekhawatiran yang sangat dalam, informasinya begitu banyak dan terungkapkan dengan penuh semangat seperti ingin menerangkan sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkapkan, kata-katanya mengalir seperti air yang mengaliir di selokan yang baru di buka penutup alirannya karena tertutup sampah.
Beberapa saat kemudian datang seorang wanita dengan pakaian yang rapih serta bersih dengan maskernya yang terlihat sangat ketat, dia didampingi rekannya yang sama sama berpakaian rapih dan bersih.
“Bu Lurah,” orang tersebut berbisik pada saya dan langsung menghentikan pembicaraannya. Semua yang hadir tertuju kearah wanita yang baru datang, mereka semua terlihat hormat dan sangat berharap akan sesuatu yang bisa membuat mereka tenang, ternyata orang-orang yang berkumpul mengelilingi bu lurah diantaranya Bapak Ketua RW 11 dan beberapa RT setempat, hadir pula Babinsa dari Kapolsek Lengkong, namanya Pak Jalaudin, bahasa tubuh mereka seperti otomatis mempersilahkan Ibu lurah untuk duduk pada kursi yang hanya ada satu di tempat tersebut, semua yang hadir berdiri dan hanya Bu lurah yang duduk dengan kalem dengan maskernya yang ketat menutupi mulut dan hidungnya.
“Saya hanya bertugas untuk menenangkan warga dalam kondisi apapun juga, untuk masalah kesehatan ada petugas yang berwenang untuk menanganinya,” begitu kalimat terakhir dari kata-kata Bu Lurah mengenai kondisi suasana warga saat itu yang sedang menghadapi salah satu warganya yang terkena dampak wabah covid 19.
“Saya berharap Bapak RW setempat beserta RT dan warganya untuk mengadakan dapur umum guna memenuhi kebutuhan warga yang terken COVID, karena dengan kondisi terisolasi warga tersebuut harus tetap mendapatkan kebutuhan makanannya yang maksimal,” lanjut Bu Lurah sambill sepintas melirik kejalan yang ditutup oleh spanduk.
Pernyataan Bu Lurah tersebut mengingatkan saya pada seseorang kawan alumni yang satu almamater dengan saya di SMA , dia seorang wanita tangguh Ida namanya tinggal di Cimahi, dimana pada waktu yang hampir bersamaan anaknya yang bekerja di Kota Bandung terkena dampak virus Corona, yang akhirnya harus diisolasi dirumahnya, otomatis Teh Ida pun sebagai ibunya ikut terlibat untuk di isolasi.
Kalau dibandingkan dengan kondisi di sini terlihat ironis, issolasi Teh Ida dengan anaknya di rumah hampir samakali tidak ada yang membantu kebutuhan dasarnya, warga dan aparat setempat sepertinya hanya sebatas tahu dan tidak ada yang mengingatkan kalau mereka yang terkena dampak Covid dan diisolasi dirumah nya sendiri tidak bisa melakukan apa apa termasuk memenuhi kebutuhan makanan yang memenuhi syarat kesehatan. Karena memang tidak boleh keluar rumah.
Ida atau akrabnya saya panggil teh Ida, betul-betul teraniaya dengan peristiwa tersebut, apalagi dengan informasi bahwa teman-teman anaknya yang sama-sama di vonis terkena covid mereka lebih nyaman penanganannya, mereka di isolasi di sebuah hotel dengan biaya satu juta perhari untuk satu orang, makan tiga kali sehari dengan menu yang memenuhi syarat yang maksimal, semakin ironis, padahal dia dengan anaknya di isolasi di rumah, dokter hanya menganjurkan agar Teh Ida melakukan komunikasi dengan pihak aparat setempat, RW atau RT untuk bisa mengantisipasi kebutuhan dasarnya, sudah pasti Teh Ida yang tangguh itu akan menolak saran dokter yang tidak mempunyai perasaan itu.
Sangat tidak mungkin kalau sosok Teh Ida yang tangguh itu harus melakukan komunikasi dengan pihak aparat setempat untuk memnta bantuan kebutuhan dasar dirinya.
Seharusnya aparat setempat yang meberikan support langsung agar masyarakat terlibat membantu kebutuhan dasar para korban terdampak pandemic Covid -19, sepertinya Teh Ida. Seperti halnya Bu Lurah.
Dan betul teh Ida bicara sama saya, kalau dirinya sangat marah pada saran dokter tersebut karena harus melakukan hal yang tidak mungkin ia lakukan. Malah sangat menyedihkan ternyata yang empati pada kondisi Teh Ida itu muncul dari seorang tukang sampah yang kebetulan sering lewat untuk mengambil sampah di rumahnya Teh Ida. Tukang sampah itu pernah mengiriimkan makanan ringan untuk Teh Ida dan anaknya.
Setelah Teh Ida marah dokter baru ngeuh dengan apa yang harus dia lakukan, akhirnya mungkin dokter itu yang menghubungi aparat RT RW setempat agar warga memperhatikan salah satu warganya untuk membantu kebutuuhan dasarnya, seperti makanan dan lain-lain. Tapi tetap sedih mendengarnya karena ternyata perhatian warga itu hanya sebatas kiriman satu buah kueh brownis kukus dimana kondisi Ida dan anaknya sudah mulai agak pulih, dan sampai sekarang persoalan penanganan Teh Ida dan anaknya masih tidak jelas dibandingkan dengan teman anaknya yang ditanganii oleh aparat dengan fasilitas hotel selama 14 hari.
Hari menjelang Dhuhur, panas matahari semakin menyengat. Ingatan saya pada kawan alumni Teh Ida yang tangguh menjadi buyar karena kedatangan ambulnce dari aparat penanganan covid 19 dari kota Bandung. Mereka datang bertiga dengan perlengkapan yang seadanya, saya agak sedikit heran, mereka seperti biasa-biasanya menghadapi masalah yang terjadi dilokasi itu. Sedang penduduk terlihat masih begitu tegang.
Sepintas petugas Coviid melirik spanduk yang menutupi jalan kancil, beberapa saat terlihat mereka berbicara dengan aparat RT dan RW setempat dan warga sekitarnya.
“Bapak Ibu nanti istri yang terdampak di haruskan melakukan rapidtest, dan swab, ke Puskesmas,“ kata petugas Covid pada warga setempat, sambil melirik hormat pada Bu Lurah dan Binmas Pa Jalalludin.
“Maksud bapak istri yang terdampak itu ke Puskesmas di anter oleh kami?” salah seorang warga bertanya dengan kebingungan, sambil melirik spanduk yang mentutup jalan.
“Tidak usah, kalau bisa sendiri yang gak apa-apa” jawab petugas itu dengan santai sambill menatap warga yang bertanya.
“Terus Bapak-bapak kesini dengan membawa ambulance buat apa,” salah seorang warga lantang bertanya dengan nada yang cukup kuat. Dia terlhat agak kesal sambil meliriik jalan yang ditutup oleh spanduk bertuliskan untuk menghindari penyebaran wabah covid 19, jalan ditutup sementara.
“Sudah mari kita kelokasi untuk memeriksa orangnya” Pak RW berbicara memotong suasana tegang sambil melangkah, spontan yang lainnya mengikuti, namun tiba-tiba ada yang berkata:
“Bapa tiidak bawa APD? Kebetulan warga kami ada yang punya APD yang bisa bapak pake,” salah seorang warga mendekati petugas covid sambil memberikan 3 buah pakaian APD yang biasa di gunakan aparat untuk menangani urusan covid 19, terlihat ppetugas covid agak rikuh sambil mmenerima pakaian APD tersebut.
“Ternyata warga lebih reaktif untuk menyiapkan berbagai protkoler bagi petugas covid yang hadir di tempat itu,” saya berkata dalam hati sambil melihat. Jalan kancil yang ditutup oleh spanduk, “Jangan jangan para petugas covd ini sudah tahu kalau covid itu tidak bahaya seperti yang diberitakan.”
Salah seorang warga berkata perlahan sambil tersenyum pahit agak ketakutan. “Hati hati kamu bicara, nanti kamu di covidkan” salah seorang warga berkata sambil matanya agak melotot memandang wajah orang yang bicara sebelumnya.
Langit di Barat birunya cerah ceria, ada segumpal awan hitam bergerak dari arah selatan menuju Barat, aneh geraknya agak cepat mungkiin ada angin kencang diatas sana. Saya memandangi suasana disekitar jalan kancil Bandung yang tegang dan mencekam. Misteri-nya menginspirasi pikiran tentang berbagai kejadian covid-19 yang diberitakan di berbagai media,
Termsuk peristiwa Ida kawan almamater SMA, menjadi hal yang inspiratif tentang pertanyaan misteri penanganan dampak covid yang terjadi di negeri ini dan di Bandung khususnya yang sekarang sudah menjadi zona merah
Bandung, Desember 2020
Cep Ahmad Gorbacep