BANDUNGHIJI.COM – Mungkin masih banyak masyarakat yang belum mengenal apa itu karinding. Pada awalnya, karinding adalah alat yang digunakan sebagai kalangenan (hiburan) oleh para karuhun (leluhur) Sunda. Selain sebagai kalangenan, karinding juga digunakan untuk mengusir hama padi karena memiliki bunyi rendah yang dapat membuat hama tidak nyaman.
Seperti yang dikatakan oleh Endang Sugriwa atau biasa disebut Abah Olot, bahwa “Karinding dimainkan petani saat menjaga sawah. Dengan memainkan karinding, hama serangga di sawah menjauh karena merasa terganggu oleh bunyi karinding.” (wawancara Abah Olot, 2016).
Selain untuk mengusir hama padi di sawah, karinding juga digunakan sebagai alat komunikasi antar sesama petani. Bentuk komunikasinya yaitu dengan cara memainkan karinding secara bergantian dan saling bersahutan. Hal serupa pernah dilakukan oleh Abah Entang (Alm.) ayah dari Abah Olot, namun dalam konteks yang berbeda.
Dahulu, Abah Entang (Alm.) pernah menggunakan karinding saat menjadi anggota OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) Parakan Muncang saat menjaga masyarakat dari gerombolan yang tidak bertanggung jawab. Menurut Abah Olot, Abah Entang (Alm.) memainkan karinding sebelum dan sesudah terjadinya peristiwa gerombolan DI TII. Saat itu, Abah Entang (Alm.) memainkan karinding dengan tujuan untuk menenangkan bathin atau obat pelipur lara (Wawancara dengan Abah Olot, 19 oktober 2016).
Selain itu, para karuhun Sunda kemudian menggunakan karinding dalam acara ritual padi, upacara adat, dan iring-iringan pada acara syukuran pascapanen. Acara syukuran pascapanen yang menggunakan karinding ini salah satunya bisa disaksikan di Kabupaten Garut.
Karinding juga digunakan dalam upacara adat dan iring-iringan syukuran pascapanen, pembacaan rajah (mantra atau doa) dan mipit amit (ritual menghargai dan minta izin untuk menggunakan tempat atau mengambil sesuatu dari alam). Salah satu contoh kegiatan mipit amit yaitu mipit amit penggunaan tempat untuk acara Kemping Karinding yang dilakukan oleh Mang Hendra murid Abah Olot sekaligus personil Karinding Attack dan kawan-kawan.
Di samping itu, dahulu karinding juga digunakan juga oleh kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukainya. Namun saat ini, karena resonator karinding adalah rongga mulut manusia yang sangat fleksibel, maka lama-kelamaan bunyi karinding dapat menghasilkan nada dengan cara mengatur lebar, sempit, besar, dan kecilnya rongga mulut. Dari situlah karinding mulai digunakan sebagai alat musik.
Pada artikel berjudul “Karinding Menghajar Jalanan” yang ditulis oleh Kimung peneliti karinding juga salah satu personil Karinding Attack (2010), dijelaskan bahwa Tasikmalaya disebut sebagai tempat yang pertama kali dibuatnya karinding. Pernyataan ini diperkuat oleh kisah Jajaka Kalamanda sebagai pencipta karinding di Tasikmalaya. Dalam syairnya yang berjudul “Karinding ti Citamiang,” penyair Nazaruddin Azhar menceritakan kembali apa yang telah dituturkan oleh Oyon Noraharjo tentang Kalamanda. Ringkasan ceritanya dapat dilihat di bawah ini.
Dahulu kala, Lembur Citamiang, Pasir Mukti, berada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Di kampung tersebut diceritakan kisah seorang pria atau seorang jajaka yang gagah bernama Kalamanda yang merupakan cucu dari Raja Kerajaan Tengah atau Galuh. Diceritakan pula bahwa Kalamanda bertemu seorang mojang cantik yang membuatnya jatuh hati. Gadis itu bernama Sekarwati.
Pada saat itu Sekarwati sangat sulit ditaklukan dan jatuh cinta kepada pria, entah itu pria yang bertahta ataupun yang berharta. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan sang kakek, Kalamanda bertapa dan berdoa untuk mendapatkan petunjuk. Setelah itu akhirnya ia mendapat petunjuk untuk membuat sejenis alat musik yang suaranya dapat menunjukkan perasaannya. Alat musik yang dimaksud adalah karinding, sebuah alat yang mengeluarkan bunyi yang terbuat dari pelepah aren yang sudah kering.
Kalamanda memainkan alat musik tersebut untuk diperdengarkan kepada Sekarwati. Diceritakan bahwa suara karinding dapat menyampaikan isi perasaan Kalamanda kepada Sekarwati.
Kalamanda menamai alat yang berhasil mencuri hati Sekarwati itu dengan nama karinding, karena bentuknya yang mirip dengan kakarindingan, sejenis binatang yang biasa ada di sawah pada zaman dulu.
Abah Oyon salah seorang pelestari karinding di Tasik pun menegaskan kisah ini dengan menambahkan bahwa karinding menjadi waditra atau alat musik simbol perlawanan tradisi pingit yang ada di Tasikmalaya saat itu.
Karinding sebagai alat untuk memikat hati wanita juga muncul dalam kisah Ki Slenting, seorang pria pemikat hati wanita. Kisah ini pernah dituliskan Yoyo Dasriyo dalam artikel berjudul “Karinding Menggelinding, Mengiring Ki Selenting.” Pada kisah ini dengan permainan karinding yang memukau, Ki Slenting memikat banyak wanita. Namun berbeda dengan kisah Kalamanda, kemampuan tersebut disalahgunakan oleh Ki Slenting. Abah Entang (Alm.) orang tua dari Abah Olot juga dahulu memikat istrinya dengan karinding.
Ternyata karinding pun tidak hanya terdapat di Jawa Barat atau Priangan saja, tetapi juga dimiliki oleh beberapa suku bangsa di Indonesia, bahkan negara lain pun memiliki alat musik ini. Di Bali karinding disebut genggong, sedangkan di Jawa Tengah disebut rinding, di Kalimantan disebut Gurinding, Sagasaga di Sumatra, Slober di Lombok, Pikon di Papua dan masih ada lagi di beberapa daerah di Indonesia. Di luar Indonesia juga ada yang serupa dengan karinding namun menggunakan material logam, biasa disebut Jew’s Harp.
Suara yang dikeluarkan pun tidak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berbeda, ada yang ditoel, dipukul, dan ditarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang ada di Tatar Sunda dimainkan dengan cara dipukul. Jenis bahan dan desain bentuk karinding ini menunjukkan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Karinding yang terbuat dari bambu biasanya dibuat baru-baru ini karena menurut Abah Olot bahan dari aren sudah sulit didapatkan.
Karinding dan alat-alat lain yang Abah Olot sandinggkan agar karinding dapat berkembang (celempung, toleat dan kohkol), merupakan alat musik tradisional yang sulit ditemukan, namun setelah Abah Olot memulai gerakan untuk merevitalisasi karinding pada tahun 2004, karinding mulai terangkat kembali namanya dan mulai digemari bahkan oleh anak-anak muda. Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter seperti yang diceritakan sebelumnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebang pohon aren.
Diceritakan oleh Abah Olot, oleh karena pohon aren sudah tidak berbuah, maka pohonnya digunakan sebagai bahan untuk membakar sesuatu. Dengan alasan tersebut pelepah aren pun tidak lagi banyak digunakan sebagai bahan pembuatan karinding. Alternatif lain sebagai bahan pembuatan karinding yaitu bambu yang memiliki kelenturan hampir mirip dengan pelepah aren, dengan ketentuan minimal berumur dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas. Ruas pertama menjadi tempat pemukul karinding dan menimbulkan getaran pada ruas tengah yaitu jarum yang sudah dijelaskan pada latar belakang.
Abah Olot mengenal karinding sejak kisaran usia 6 tahun. Dapat dibilang Abah Olot sudah nyaah (sayang) dan cinta terhadap karinding. Karinding bagi Abah Olot sudah menjadi sebuah budaya turun temurun dari nenek moyangnya. Pada tahun 2004, Abah Olot mulai mendalami dan membuat karinding, sebelumnya Abah Olot hanya dapat memainkannya saja. Sebelum mulai mendalami dan membuat karinding pada tahun 2004, sebelumnya Abah Olot berkerja sebagai pengrajin. Berbagai kerajinan dibuatnya, mulai dari patung kayu, furnitur dan lain-lain.
Namun pada akhir tahun 2003 orang tuanya memberi pesan agar Abah Olot meneruskan pelestarian kalangenan atau permainan dari tanah Sunda yang sudah menjadi tradisi turun-temurun di lingkungan keluarganya, yaitu karinding. Selain dorongan dari orangtua, secara emosi Abah Olot terdorong oleh rumor yang menyebutkan bahwa karinding menjadi salah satu alat musik tradisional yang telah punah, sedangkan Abah Olot merasa sangat dekat sekali dengan permainan karinding ini.
Selain Abah Olot sebagai personal yang menyebarkan karinding, berkembangannya Giri Kerencèng kelompok musik karinding buatan Abah Olot pun mulai diakui oleh pemerintah dan Dadang M. Nasser yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung (Periode 2010-2015) dari pemerintah Kabupaten Bandung membuat acara yang khusus diadakan untuk memenuhi buku MURI dan setelahnya memecahkan rekor dunia sebagai rampak karinding atau memainkan karinding secara bersama-sama dengan peserta terbanyak. Acara tersebut dibantu dan diselenggarakan oleh Wakil Walikota Sumedang yang saat itu dijabat oleh Taufiq Gunawansyah. Menurut Abah Olot, kelompok musik tradisional Giri Kerencèng pun namanya sudah tertulis di UNESCO sebagai salah satu kelompok musik yang memainkan karinding dari Indonesia.
Proses pelestarian karinding yang Abah Olot lakukan tidak selalu berjalan mulus, ada beberapa rumor yang beredar di masyarakat yang cukup mengganggu Abah Olot, salah satunya adalah rumor mengenai alat musik karinding yang dilarang diperjual-belikan. Menurut Abah Olot, rumor tersebut keluar dari oknum yang ingin namanya diakui, karena Abah Olot memang memperjual-belikan karinding sebagai bentuk pelestarian menurutnya.
Namun Abah Olot tidak memperjual-belikan keilmuan memainkan apalagi membuatnya, siapapun yang ingin belajar memainkan atau membuat alat musik tidak pernah dipungut biaya sedikitpun oleh Abah Olot, dikatakan oleh Abah Olot padahal oknum tersebut juga melakukan hal yang sama, hanya saja oknum itu memperjual-belikan ilmu bermain karinding, semacam kursus.
Menurut Abah Olot, memperjual-belikan karinding termasuk salah satu cara untuk melestarikan karinding dan berpengaruh pada kelangsungan produksi dari karinding tersebut, karena kini sulit jika harus mendapatkan bambu secara gratis yang berumur minimal 2 tahun. Ada beberapa cara untuk melestarikan karinding menurut Abah Olot, orang yang membuat itu melestarikan, orang yang membeli itu melestarikan, orang yang memainkannya itu melestarikan, bahkan yang mengundang atau nanggap pun melestarikan.
Menurut Abah Olot pelestarian ini bukan ajang untuk berkompetisi dan menjatuhkan, justru harus gotong-royong agar visi yang sama untuk melestarikan karinding tercapai. Abah Olot juga menjelaskan bahwa orang tuanya mengajarkan dirinya bahwa hidup itu harus “nyeni” tidak hanya saat bermain karinding saja. Menurut leluhur Abah Olot, jiwa seni berbeda dengan jiwa nyeni.
Jiwa nyeni adalah sebuah perilaku nu kudu hade (yang harus baik), bukan hanya sebuah kemampuan atau bakat yang hebat, namun harus tetap berbanding lurus dengan perilaku yang baik. Menurutnya sendiri hingga sekarang ia belum sampai pada tahap memiliki jiwa nyeni, namun Abah Olot selalu berusaha untuk dapat menuju ke tahap memiliki jiwa nyeni.
Abah mengikuti filosofi dasar dari arti kata Sunda yaitu susun wanda dimana susun berarti menata dan wanda berarti perilaku, yang artinya menata perilaku menjadi sosok manusia yang baik, baik terhadap sesama manusia dan diri sendiri. Hal tersebut berkaitan dengan filosofi sabar, sadar dan yakin dari karinding.
Pewarisan budaya adalah hal yang penting bagi manusia karena budaya merupakan identitas yang dimiliki suatu kelompok orang yang menjadi pembeda dengan kelompok orang lainnya. Dengan budaya, manusia dapat menunjukkan jati dirinya sebagai suatu makhluk yang berbudaya dengan ciri khasnya, contohnya masyarakat Indonesia harus dapat melestarikan budaya Indonesia agar jati diri dan martabat bangsa Indonesia tidak hilang terbawa arus globalisasi.
Abah Olot mengatakan bahwa karinding dahulu juga sering dimainkan dengan cara diadu, maksudnya adalah dimainkan berdua hingga “sangacaina nepi salah sahiji ereun,” (sampai mengeluarkan air liur hingga salah satunya berhenti bermain) namun Abah Olot merasa hal tersebut sudah terlalu kuno. Saat itu Abah Olot berasumsi bahwa karinding punah karena kejenuhan masyarakat dalam memainkan karinding. Dengan asumsi bahwa karinding sudah tidak menarik untuk dimainkan, maka Abah Olot berinisiatif untuk menanyakan kepada Abah Entang (Alm.), alat musik seperti apa yang dapat membuat karinding dapat dimainkan dengan cara yang lebih asik dan menarik. Lalu Abah Olot dan Abah Entang (Alm.) berdiskusi untuk menemukan alat-alat yang dapat menjadi pendamping dan dimainkan bersamaan dengan karinding dalam sebuah permainan musik berkelompok.
Akhirnya mereka berpikiran untuk membuat celempung. Namun ada sedikit yang berbeda dalam pewarisan celempung, walau tetap diwariskan oleh orangtuanya. Karena orangtuanya sendiri tidak tahu cara untuk membuatnya, Abah Olot membuat celempung melalui sebuah gambaran kasar bentuk celempung yang digambarkan Abah Entang (Alm.) karena pembuatan alat musik celempung di lingkungan keluarga Abah Olot terhenti di buyutnya atau kakek dari Abah Entang (Alm.) dan tidak sempat diwariskan oleh kakek buyutnya. Pada tahun 2004 Abah Olot mulai membuat alat musik celempung. Butuh waktu satu tahun bagi Abah Olot untuk mematangkan keahliannya dalam proses pembuatan celempung karena Abah Olot dan Abah Entang (Alm.) tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam membuat alat musik celempung.
Abah Olot hanya mengandalkan ingatan Abah Entang (Alm.) mengenai bentuk alat musik celempung yang dibuat oleh buyutnya. Abah Olot meminta Abah Entang (Alm.) untuk menggambarkan bentuk kasar alat musik celempung pada secarik kertas, lalu Abah Olot bereksperimen dalam pembuatan celempung, hingga pada tahun 2005 Abah Olot mulai menggunakan celempung untuk dimainkan bersama dengan karinding dan pada tahun yang sama Abah Olot membuat kelompok musik tradisional dengan iring-iringan karinding.
Kelompok musik tradisional yang dibuat Abah Olot bernama Giri Kerencèng. Nama Giri Kerencèng diambil dari kata “giri” yang berarti gunung dan “kerencèng” yang merupakan ungkapan suara kerincing dan dirubah menjadi kerencèng agar mempunyai kesan suara yang lebih keras atau besar. Alat musik yang digunakan pada kelompok musik tersebut dibuat sendiri oleh Abah Olot. Bersamaan dengan munculnya kelompok musik Giri Kerencèng, Abah Olot mulai membuat lagu. Terbentuknya Giri Kerencèng menjadi tahun pertama Abah Olot melakukan pertunjukkan musik dan menjadi harapan bagi Abah Olot agar karya-karya yang diciptakan Abah Olot dalam dunia musik khususnya musik tradisional dapat menjadi besar dan diterima oleh siapa saja dan dimana saja pada saat itu.
Celempung yang dibuat oleh Abah Olot sudah ada sebelumnya, namun dimodifikasi yang tadinya celempung hanya terdiri dari satu bilah bambu dibuat menjadi celempung rèntèng dengan beberapa bilah bambu yang menghasilkan tangga nada, hingga saat itu karinding dimainkan oleh Abah Olot bersamaan dengan celempung biasa dan celempung rèntèng. Selain membuat celempung tradisional, celempung rèntèng dan celempung melodi, Abah Olot pun memodifikasi kohkol (kentongan) menjadi alat musik seperti celempung rèntèng yang diberi nama kohkol latung.
Awalnya Abah Olot membuat celempung rèntèng dengan bilah bambu yang berjumlah 12 buah, namun akhirnya dibuat menjadi 6 buah karena menurutnya akan sulit dimainkan jika bilah bambu celempung berjumlah 12 buah. Setelah itu, Abah Olot membuat kohkol latung yang dimodifikasi menjadi seperti celempung rèntèng yang berjumlah 6 buah. Abah Olot mengakui bahwa semua karyanya merupakan bentuk modifikasi dari produk yang sudah ada sebelumnya.
Setelah Abah Olot membuat celempung rèntèng, celempung melodi dan kohkol latung, banyak orang yang kemudian ikut membuatnya. Hal tersebut membuat Abah Olot sangat berterima kasih kepada orang-orang yang ikut menjadi pembuat karinding, celempung dan kohkol karena menurutnya hal tersebut dapat membantu dirinya untuk melestarikan karinding.
Dengan adanya grup musik Giri Kerencèng, Abah Olot membuat karinding menjadi lebih menarik dan asik untuk dimainkan. Menurutnya mengkolaborasikan karinding dengan alat musik lain menjadi cara yang paling efektif untuk mengembalikan kembali eksistensi karinding.
Menurut Yoyo Gasmana dari Cipta Gelar, gaya permainan karinding yang dibuat dengan formasi seperti band adalah sesuatu yang original dari Abah Olot, walau ada beberapa tempat dengan konsep yang sama, hanya Abah Olot yang menggunakan vokal verbal dan mulai diikuti oleh beberapa orang yang tertarik terhadap karinding. Hal tersebut dibuktikan dengan kemunculan kelompok musik karinding seperti, Karinding Militan kelompok musik karinding yang terinspirasi oleh Abah Olot saat Abah Olot dan Yoyo Gasmana memperkenalkan karinding ke UPI, Karinding Attack yang sangat membantu untuk meningkatkan daya tarik karinding dengan musik metalnya dan masih banyak lagi yang lahir selanjutnya. Selain kelompok musik, Budi Dalton pun ikut membantu memperkenalkan dan meramaikan karinding di wilayah Jawa Barat.
Selain di wilayah Jawa Barat, Abah Olot juga memiliki harapan agar karinding dapat dikenal sampai ke mancanegara, karena dengan pencapaian seperti yang Abah Olot maksudkan, karinding dapat membantu bangsa dan negara dalam bentuk perekonomian, dengan ketertarikan orang luar terhadap karinding yang juga merupakan salah satu identitas budaya Sunda. Diungkapkan juga oleh Abah Olot, pikiran optimisnya tentang karinding yang dapat menembus mancanegara karena, ada ketertarikan orang mancanegara kepada karinding, saat karinding buatannya dibawa oleh Yoyo Gasmana ke Kanada orang-orang disana banyak yang ingin mencoba dan belajar memainkannya.
Namun semua usaha dan prosesnya tidak selalu berjalan dengan mudah, selalu ada ganjalan baik itu dari luar atau dari dirinya sendiri, yang membuat Abah Olot dalam proses pelestariannya menjadi terhambat seperti tempat pembuatan karinding yang berpindah-pindah, finansial dan hal lainnya, namun kembali lagi kepada motivasinya yaitu kesadaran Abah Olot atas kecintaannya terhadap karinding dan amanat dari orangtuanya yang membuat Abah Olot tetap bertahan untuk melanjutkan visi hidupnya.
Abah Olot menjadi salah satu sosok penting dalam bangkitnya seni karinding dari kepunahan. Mimpi dan harapan Abah Olot yang sangat besar untuk melestarikan karinding menjadi sumber semangat bagi orang-orang sekitar Abah Olot, baik yang berhubungan langsung atau yang terkena efek domino untuk ikut menjalankan proses pelestarian karinding oleh Abah Olot. (Luthfi Ferrari)***
REDAKSI@BANDUNGHIJI.COM